Kamis, 05 Januari 2012

Sabar, Syukur, dan Istighfar

                                                      Bismillahirrahmannirrahim

Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam kitab “Ats-Tsiqat” kisah ini. Dia adalah imam besar, Abu Qilabah Al-Jarmy Abdullah bin Yazid dan termasuk diantara tabi’in yang meriwayatkan dari sahabat Anas bin malik. Kisah ini diriwayatkan dari seorang mujahid yang bertugas di daerah perbatasan (ribath), Abdullah bin Muhammad, beliau menuturkan:
Saya keluar untuk menjaga perbatasan di Uraisy Mesir. Ketika aku berjalan, aku melewati sebuah perkemahan dan aku mendengar seseorang berdoa,
“Ya Allah, anugerahkan aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmatMu yang telah engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai. Dan masukkanlah aku dengan rahmatMu ke dalam golongan hamba-hambaMu yang shalih.” (Doa beliau ini merupakan kutipan dari firman Allah di surat An-Naml, ayat 19).
Aku melihat orang yang berdoa tersebut, ternyata ia sedang tertimpa musibah. Dia telah kehilangan kedua tangan dan kedua kakinya, matanya buta dan kurang pendengarannya. Beliau kehilangan anaknya, yang biasa  membantunya berwudhu dan memberi makan…
Lalu aku mendatanginya dan berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah, sungguh aku telah mendengar doamu tadi, ada apa gerangan?”
Kemudian orang tersebut berkata, “Wahai hamba Allah. Demi Allah, seandainya Allah mengirim gunung-gunung dan membinasakanku dan laut-laut menenggelamkanku, tidak ada yang melebihi nikmat Tuhanku daripada lisan yang berdzikir ini.” Kemudian dia berkata, “Sungguh, sudah tiga hari ini aku kehilangan anakku. Apakah engkau bersedia mencarinya untukku? (Anaknya inilah yang biasa  membantunya berwudhu dan memberi makan)
Maka aku berkata kepadanya, “Demi Allah, tidaklah ada yang lebih utama bagi seseorang yang berusaha memenuhi kebutuhan orang lain, kecuali memenuhi kebutuhanmu.” Kemudian, aku meninggalkannya untuk  mencari anaknya. Tidak jauh setelah berjalan, aku melihat tulang-tulang berserakan di antara bukit pasir. Dan ternyata anaknya telah dimangsa binatang buas. Lalu aku berhenti dan berkata dalam hati, “Bagaimana caraku kembali kepada temanku, dan apa yang akan aku katakan padanya dengan kejadian ini?  Aku mulai berpikir. Maka, aku teringat kisah Nabi Ayyub ‘alaihis salam.
Setelah aku kembali, aku memberi salam kepadanya.
Dia berkata, “Apakah engkau temanku?”
Aku katakan, “Benar.”
Dia bertanya lagi, “Apa yang selama ini dikerjakan anakku?”
Aku berkata, “Apakah engkau ingat kisah Nabi Ayyub?”
Dia menjawab, “Ya.”
Aku berkata, “Apa yang Allah perbuat dengannya?”
Dia berkata, “Allah menguji dirinya dan hartanya.”
Aku katakan, ”Bagaimana dia  menyikapinya?”
Dia berkata, “Ayyub bersabar.”
Aku katakan, “Apakah Allah mengujinya cukup dengan itu?”
Dia menjawab, “Bahkan kerabat yang dekat dan yang jauh menolak dan meninggalkannya.”
Lalu aku berkata, “Bagaimana dia menyikapinya?”
Dia berkata, “Dia tetap sabar. Wahai hamba Allah, sebenarnya apa yang engkau inginkan?”
Lalu aku berkata, “Anakmu telah meninggal, aku mendapatkannya telah dimangsa binatang buas di antara bukit  pasir.”
Dia berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan dariku keturunan yang dapat menjerumuskan ke neraka.”
Lalu dia menarik nafas sekali dan ruhnya keluar.
Aku duduk dalam keadaan bingung apa yang harus kulakukan. Jika aku tinggalkan, dia akan dimangsa binatang buas. Jika aku tetap berada disampingnya, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika dalam keadaan tersebut, tiba-tiba ada segerombolan perampok mendatangiku.
Para perampok itu berkata, “Apa yang terjadi?” Maka aku ceritakan apa yang telah terjadi. Mereka berkata, “Bukakan wajahnya kepada kami!” Maka aku membuka wajahnya, lalu mereka memiringkannya dan mendekatinya seraya berkata,  “Demi Allah, ayahku sebagai tebusannya, aku menahan mataku dari yang diharamkan Allah dan demi Allah, ayahku sebagai tebusannya, tubuh orang ini menunjukkan bahwa dia adalah orang yang sabar dalam menghadapi musibah.”
Lalu kami memandikannya, mengafaninya dan menguburnya. Kemudian, aku kembali ke perbatasan. Lalu, aku tidur dan aku melihatnya dalam mimpi, beliau kondisinya sehat. Aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau sahabatku?” Dia berkata,” Benar.” Aku berkata, “Apa yang Allah lakukan terhadapmu?” Dia berkata, “Allah telah memasukkanku ke dalam surga dan berkata kepadaku,
“Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu.” (QS. Ar-Ra’d: 24).
“Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).

(Dari ceramah yang ditranskrip, oleh Syaikh Abu Ishaq Al-Huwainy yang berjudul Jannatu Ridha fit Taslim Lima Qadarallah wa Qadha, hal. 2)

Kisah nabi Ayyub sudah sering kita dengar, namun mungkin muncul komentar dalam diri kita, “Itukan Nabi, wajar jika dia mampu bersabar, sehingga membuat kita tidak terlalu terkesan dengan cerita tersebut.” Tapi subhanallah.., tokoh utama kisah di atas bukan Nabi. Abu Qilabah adalah manusia biasa seperti layaknya kita. Beliau tidak mendapatkan wahyu maupun didatangi malaikat Jibril untuk bersabar. Yang ini menunjukkan sikap sabar, diiringi syukur yang luar biasa seperti kisah di atas, memungkinkan untuk ditiru setiap orang. Tidak bisa kita bayangkan, andaikan beliau diberi oleh Allah nikmat yang lebih dari itu, sehebat apa rasa syukur yang akan beliau lakukan.

Inilah sifat yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkagum dan memuji pribadi orang mukmin. Sebagaimana disebutkan dalam hadis, dari sahabat Suhaib bin Sinan radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh sangat mengagumkan keadaan orang yang beriman. Semua keadaannya itu baik. Dan ini hanya ada pada diri orang yang beriman. Apabila mereka mendapat kenikmatan, mereka bersyukur, dan itu (sikap) yang baik baginya. Sementara jika dia mendapatkan musibah, dia bersabar, dan itu (sikap) baik baginya.” (HR. Muslim).


Dengan sikap ini, orang akan tetap mendapatkan tambahan nikmat dan keberkahannya. Sebagaimana janji Allah ta’ala, dalam firman-Nya:
“Jika kalian bersyukur maka sungguh Aku akan tambahkan untuk kalian, dan jika kalian kufur, sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7)

Hanya saja perlu kita ingat. Sikap ini tidaklah mudah. Kita baru bisa bersyukur, ketika kita merasa bahwa apa yang ada pada diri kita adalah pemberian Allah yang sudah sangat banyak.  Dengan ini, kita tidak akan membandingkan kenikmatan yang ada pada diri kita dengan nikmat yang Allah berikan kepada orang yang lebih ‘sukses’ dari pada kita. Inilah kunci yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
“Lihatlah kepada orang yang (nikmatnya) lebih bawah dari pada kalian. Jangan melihat kepada orang yang (nikmatnya) di atas kalian. Dengan ini, akan lebih memungkinkan, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah pada diri kalian.” (HR. Turmudzi dan dinilai shahih oleh al-Albani)

Ujian dan cobaan merupakan salah satu bagian dalam kehidupan manusia. Tidak ada kenikmatan mutlak di alam dunia ini. Sehebat apapun manusia, sekaya apapun dia, kenikmatan yang dia rasakan akan bercampur dengan ujian dan cobaan. Namun, orang yang beriman bisa mengkondisikan keadaan yang sejatinya pahit ini sebagai bagian dari kebahagiaan. Itulah sikap sabar dan mengharap pahala dari Allah ta’ala. Karena itu, semakin besar sikap sabar yang dilakukan, semakin besar pula kebahagiaan yang dia rasakan. Barangkali, inilah diantara rahasia bahwa semakin sempurna keimanan seseorang maka semakin besar pula ujian yang Allah berikan kepadanya. Dinyatakan dalam sebuah hadits, dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Sesungguhnya besarnya pahala sepadan dengan besarnya ujian. Sesungguhnya Allah, apabila mencintai seseorang maka Allah akan mengujinya. Siapa yang ridha (dengan takdir Allah) maka dia akan mendapatkan ridha (Allah). Siapa yang marah (dengan takdir Allah) maka dia akan mendapatkan murka (Allah)” (HR. Turmudzi, Ibnu Majah, dan dinilai hasan shahih oleh al-Albani)

Diantara hikmah Allah memberikan ujian kepada kaum mukminin adalah agar mereka tidak merasa bahwa kehidupan dunia ini sebagai kenikmatan mutlak, sehingga mereka akan senantiasa mengharapkan akhirat.

Dalam bukunya yang sangat masyhur yang berjudul “qawaidul arba” (4 kaidah penting dalam memahami kesyirikan), Imam Muhammad bin Sulaiman at-Tamimi mengatakan:
“Semoga Allah menjadikan anda termasuk diantara orang yang apabila dia diberi dia bersyukur, apabila diuji, dia bersabar, dan apabila melakukan dosa, dia beristighfar. Karena tiga hal ini merupakan tanda kebahagiaan.” (Qowaidul Arba’).


Rabu, 04 Januari 2012

Dan Berlinanglah Air Mata Takwa

  Bismillahhirrahmanirrahiim

   Sejatinya,menangis bukanlah monopoli kebutuhan anak kecil dan kaum wanita saja.
Dalam islam,sebuah tangisan kadangkala sangat di butuhkan oleh siapa saja,baik kaum pria maupun kaum wanita.
Memang,tetesan air mata anak manusia menyimpan beribu makna. Air mata yang di teteskan oleh seorang hamba karena takut kepada rabbnya memiliki makna dan nilai yang sangat tinggi di sisinya. Bagaimana tidak,tangisan seperti itu dapat menyelamatkan dirinya dari jilatan api neraka yang menyala-nyala.
Rasulullah shalallahualaihiwasalam bersabda:
"Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah hingga air susu kembali ke ambingnya (kelenjar susu pada hewan). (HR. At-tirmidzi,dan di shahihkan oleh syaikh al-Albani).
Bahkan,di tegaskan dalam hadits lain bahwa seseorang yang menangis karena takut kepada Allah ta'ala di sentuh apinya pun tidak.
Rasulullah shalallahualahiwassalam bersabda:
"Dua mata yang tidak akan di sentuh api neraka,yakni mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang terjaga karena siaga di jalan Allah(saat berjihad). (HR.At-tirmidzi,dan di shahihkan oleh syaikh al-Albani).
Tidak hanya itu,orang itu juga di jamin akan mendapatkan cinta Allah ta'ala:
Rasulullah shalallahualaihiwassalam bersabda:
"Tidak ada sesuatu yang lebih di cintai Allah selain dua tetesan dan dua bekas. Yaitu,tetesan air mata karena takut kepadanya dan tetesan darah yang mengalir di jalannya(Jihad). Adapun dua bekas: Bekas berjihad di jalan Allah dan bekas dari menunaikan salah satu kewajiban yang telah Allah tetapkan. (HR. At-tirmidzi,dan di shahihkan oleh syaikh al-Albani).

          Tangisan karena takut kepada Allah subhanahu wa ta'ala merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepadanya. Tangisan ini murni muncul dari kesadaran manusia yang takut akan adzabnya di sebabkan dosa-dosa yang selalu di perbuat. Oleh sebab itu,jiwa manusia menjadi hampa karena dosa-dosanya dan hatipun menjadi keras karenanya. Akibatnya,mata mereka tidak dapat lagi menangis dan meneteskan air mata,hati tidak dapat merasakan manis dan lezatnya iman,kecuali mereka yang di Rahmati oleh Allah,namun sedikit sekali mereka yang demikian.

           Tak dapat di pungkiri,manusia dengan segala aktivitas keduniannya acap kali lupa mengingat penciptanya. Ibadahpun kerapkali terabaikan,Dunia telah begitu menyibukkannya. Akhirat yang seharusnya di kejar terlupakan. Ia kian jauh tersesat oleh gemerlapnya alam fana ini hingga tidak ingat lagi terhadap tugas utamanya berada di dunia. Dia semakin jauh dan jauh dari Allah ta'ala hingga pelan-pelan melupakannya. Semakin manusia menjauh darinya,maka semakin ia mendekati dosa dan terjerembab ke dalamnya,tergelincir dari jalan yang lurus.
           Manusia seperti ini oleh Allah ta'ala dinyatakan tidak akan mendapatkan kebahagian,baik di dunia maupun di akhirat,kecuali jika dia mau segera bertaubat dengan sungguh-sungguh,dan tidak mengulanginya lagi dan menangisi dosa-dosanya. Maka dari itu berhati-hatilah terhadap kerasnya hati,karena sesungguhnya ia akan menjerumuskan diri mu ke dalam neraka. Hindarilah dan jauhilah semua penyebabnya,dan jangan sekali-kali engkau berpaling dari nasihat-nasihat Allah azza wa jalla.
  Allah subhanallahu wa ta'ala mengingatkan dalam firmannya:
"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman,untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun(kepada mereka),dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya yang telah di turunkan al-kitab kepadanya,kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka. Lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang fasik." (QS. Al-Hadiid: 16).
Ketika menafsirkan ayat di atas ibnu Abbas radhiallahu anhu mengatakan: Mereka lebih condong kepada dunia dan berpaling dari nasihat-nasihat Allah ta'ala.(Demikian yang di sebutkan imam al-Baghawi dalam tafsirnya).

           Sungguh kehidupan dunia dan kecintaan padanya membuat buta mata dan hati manusia,sehingga dia lupa akan hakikat untuk apa manusia di ciptakan di muka bumi ini,Sehingga sulit bagi orang-orang yang lalai dan terpedaya oleh dunia untuk menangisi akan dosa-dosa yang telah di perbuatnya. Terlalu sering bersenang-senang dengan kehidupan dunia membuat hati menjadi keras dan bahkan bisa menyebabkan mati hatinya.
Padahal Rasulullah shalallahualaihiwasallam telah mengingatkan:
"Jauhilah sikap suka bersenang-senang. Karena sesungguhnya hamba-hamba Allah itu bukanlah mereka yang suka bersenang-senang".(HR. Ahmad dan Abu nu'aim,syaikh al-Albani mengatakan bahwa sanadnya jayyid).

           Wahai saudaraku fillah,Semoga engkau di Rahmati oleh Allah azza wa jalla. Ketahuilah,sungguh begitu jelas kebenaran yang telah di sampaikan nabi shalallahu alaihi wa sallam bagi manusia akan datangnya kematian dan hari di mana akan di perhitungkan setiap amal perbuatan manusia. Lalu kenapa dan hal apa yang membuat manusia itu sombong dan mengeraskan hatinya sehingga sulit baginya untuk menangis dan menyesali akan kesalahan dan dosa-dosa yang telah di perbuatnya.
 Dari Abu Darda radiallahu anhu,ia berkata bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Sungguh,di hadapan kalian  ada rintangan berat yang tidak akan dapat di lalui oleh orang-orang yang mempunyai banyak Dosa. (HR. al-Bazzar dengan sanad hasan,dan di shahihkan oleh syaikh al-Albani dalam kitab shahiihut targhiib wat tarhiib:3176).
            Oleh karena itu memohon ampunlah pada Allah subhanallahu wa ta'ala,Meminta padanya agar di lembutkan hati dan berusaha menghindari hal-hal yang dapat mengeraskan hati. Berusahalah muhassabah/instropeksi diri agar dapat mengenal siapa diri-diri kita ini.
             Wahai hamba Allah,kini penjelasan apalagi yang engkau butuhkan agar engkau dapat menangis??.
Demi Allah,semua ini sungguh sebuah nasihat yang sangat menyentuh,cukup untuk membuat mu bertaubat,kembali kepada Allah dan menangis. Orang yang menangisi dosa-dosanya,sebagai tanda penyesalan akibat perbuatan dosa dan maksiat yang di lakukan,di jamin oleh Allah akan selamat dari akibat buruknya,baik di dunia maupun di akhirat.
Uqbah bin Amir radiallahu anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam:
"Wahai rasulullah,bagaimana cara memperoleh keselamatan,Beliau shalallahi alaihi wa sallam menjawab: Kendalikanlah lisanmu,Betahlah berada di rumahmu (untuk beribadah),Dan tangisilah dosa-dosamu. (HR At-Tirmidzi).
  Dari Utsman bin Affan Radiallahu anhu bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda:
"Berbahagialah orang yang dapat menjaga lisannya,Merasa betah di rumahnya(untuk beribadah),Dan menangisi dosanya. (HR. Ath-Thabrani dengan sanad hasan shahih).
Al imam Hasan al-Basri berkata:
"Wahai anak adam!,Sesungguhnya engkau lakasan bilangan hari-hari. Setiap kali hari-hari itu pergi,maka pergi pula sebagian dari diri mu.
Imam Hasan al Basri juga mengatakan:
"Sudah seharusnya bagi orang yang tahu bahwa kematian adalah akhir bagi kehidupannya (di dunia),hari kiamat adalah pasti baginya,Dan berdiri di hadapan Allah akan menjadi majelisnya untuk selalu bersedih hati".

 Apakah engkau menjamin diri mu akan selamat dan masuk surga???.
                      Maka, Menangislah sekarang juga agar engkau mendapat balasannya di dunia,Sebelum engkau harus menangis darah di neraka,dan engkau tudak mendapat pahala apapun karenanya.
                     Bila engkau tidak dapat menangis,juga tidak dapat memaksa dirimu untuk menangis,itu berarti iman mu lemah,dan dunia telah merenggut sesuatu dari dalam dirimu,dan engkau benar-benar dalam bahaya. Maka, Segeralah kembali kepada Allah!. Raihlah manfaat hidup ini sebelum datang kematian. Segeralah bertaubat nasuha,Kembali kepada Allah ta'ala yang telah menciptakan mu dengan penuh kejujuran dan kerjakanlah amal-amal shalih,Hingga akhirnya akan BERLIANGLAH AIR MATA TAKWA yang muncul karna takut kepada Allahu azza wa jalla dari dalam hati mu...


Di ambil dan di ringkas dengan sedikit tambahan dari kitab al Bukaa min khasyatillah karya asy syaikh Husain bin Audah al Awaisyah Hafidzahullahu ta'ala.